Kisah Tepung Goreng

|
Selepas SMA, Bejo mulai gundah hatinya, dia bingung antara melanjutkan kuliah dan menuruti saran orang tuanya untuk bekerja dikampung saja. Maklum dengan status "tukang kayu", bapaknya si Bejo pasti deg2an mbayangin biaya anaknya kuliah, "wong kamu bisa lulus SMA saja bapakmu ini jungkir balik cari biayanya, gimana kamu mau kuliah, bisa ndak makan emak sama adik2mu", kurang lebih begitulah yang ada di benak bapaknya si Bejo.

Tapi Bejo tidak patah semangat, apalagi si Mintul sang belahan jiwa terus mendorongnya untuk semangat dan memperjuangkan masa depan mereka .. eh masa depannya.

Akhirnya Bejo nekat pergi ke kota untuk mendaftar kuliah di Perguruan Tinggi Negeri yang paling masyhur disana. Bapak dan Emaknya yang semula keberatan tidak bisa berbuat apa2 lagi untuk menahan anak kesayangannya pergi mengejar impian, apalagi Bejo yang memang terkenal sangat encer otaknya itu sayang jika tidak mendapat kesempatan mencicipi bangku kuliah, maka dengan setengah hati pasangan keluarga sederhana ini tetap berdoa untuk anak sulungnya itu.

Singkat cerita Bejo akhirnya mendarat mulus di jurusan yang sesuai dengan keinginannya, no argue he's genius :)

Bulan pertama kiriman dari kampung lancar, masih cukup untuk sekedar makan tempe penyet ataupun pecel warung barokah, menginjak bulan kedua ternyata adeknya dikampung juga lagi butuh biaya buat beli LKS dan buku2 wajib (lebih tepatnya diwajibkan kali ya) akhirnya Bejo musti lebih ngirit, jadwal makan di warung barokah di kurangi sisanya dia masak sendiri supaya lebih irit. Bejo pun mulai membiasakan beli beras sendiri, beli sayur, garam, gula, bumbu dan kroni2nya, enak ga enak ya dirasain sendiri :(

Akhrinya dibulan ketiga kiriman bener2 macet, paniklah si Bejo, mau makan ga punya duit, mau ngutang ga ada yang diutangin, akhirnya ditahan saja rasa laparnya didalam kamar kos ukuran 2x3 yang disewanya sambil memeluk guling kumalnya berharap rasa lapar itu pergi dan membuat nya lupa kalo dia lagi sangat butuh uang untuk makan. Disaat2 seperti inilah dia teringat kedua orangtuanya yang meskipun "ndeso" tapi sangat menyayanginya, kedua orang tua yang dulu sering dianggap tukang ngomel, tukang bentak, dan tukang pukul yang kini sangat dirindukannya.

Tapi kerinduan tak bisa bertahan selamanya untuk mengalahkan irama keroncongan di dalam lambungnya, Bejo pun mulai ga tahan, di korek2nya seisi dapur kosnya untuk mencari apa yang bisa dimakan, tetapi hasilnya nihil, hanya setoples bumbu dapur yang mulai layu yang di jumpainya. Tetapi Bejo belum menyerah, dilihatnya lagi ke toples2 yang lain dengan harapan sama seperti sebelumnya, something to eat.

Entah berapa menit waktunya dipakai untuk menggeledah isi dapur, akhirnya dia menemukan kantong tepung yang biasa dia gunakan untuk menggoreng tempe, itupun dengan isi tinggal separo. Tanpa pikir panjang dinyalakanlah kompor di sebelahnya kemudian tepung yang ditemukannya tadi langsung dicampur dengan air. Wajah Bejo mulai mengulas senyum ketika melihat tepung adonannya mekar dan berbentuk sangat mirip pisang goreng, "akhirnya makan juga" begitu kira2 pikirnya.

Tak berapa lama tuntaslah seluruh isi tepung dan berpindah ke dalam piring seng tempat Bejo mengentaskan gorengannya, ditunggu sebentar agar ga terlalu panas, lalu bersiap2lah Bejo melahap hasil olah kulinernya tsebut. Bejo sudah membayangkan pisang goreng yang dulu biasa emaknya buat di kampung...mmm

Gorengannya akhirnya naik ke mulut, perlahan lahan mulai tersentuh lidah, digigitnya hasil karyanya itu dengan pasti dan dikunyahnya dengan setengah rakus...glek..., si Bejo berhenti, bukan manisnya pisang goreng ternyata yang dikecap oleh lidahnya, tetapi sensasi rasa yang teramat datar dan ...hambar, betul2 tak terbayangkan.

Bejo tertegun, diam ...tapi lapar, akhirnya meski tahu bahwa yang ada di hadapannya hanya sepiring tepung dan air yang digoreng, tetapi dia sadar tak ada pilihan yang lebih baik,dikunyahnya saja apa yang menjadi rejekinya hari itu, sambil tentu saja meneteskan air mata.

Air mata yang spontan, manusiawi dan jujur. Spontan karena memang tidak ada yang menyuruh, Manusiawi karena setiap manusia akan selalu menangis, Jujur karena pada dasarnya setiap manusia selalu mengakui kelemahannya.

Fase kehidupan Bejo ini menjadi suatu prasasti penting dalam perjalanannya, meskipun dia sekarang sudah lebih sering keluar masuk cafe/resto mewah, tetapi "insiden" tepung goreng akan selalu mengingatkannya bahwa seringkali suatu karunia baru akan benar2 terasa sebagai karunia ketika sudah tidak kita miliki.

(Terjadi di Surabaya, 1999)

0 comments: